Informasi Negara Berisiko Tinggi yang Dipublikasikan oleh FATF – Februari 2023


Secara rutin, FATF mempublikasikan informasi negara berisiko tinggi dan tidak kooperatif pada laman resminya. Informasi daftar negara berisiko tinggi sesuai informasi yang dirilis pada Februari 2023 adalah sebagai berikut:

  1. High-Risk Jurisdictions subject to a Call for Action
    High-Risk Jurisdictions subject to a Call for Action adalah negara/yurisdiksi berisiko tinggi yang memiliki defisiensi strategis signifikan pada rezim pencegahan dan pemberantasan pencucian uang, pendanaan terorisme dan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (PPSPM). FATF meminta semua anggotanya dan mendesak semua yurisdiksi untuk menerapkan EDD, dan dalam keadaan yang sangat serius, menerapkan countermeasures terhadap negara yang diidentifikasi berisiko tinggi dalam rangka melindungi sistem keuangannya dari kegiatan pencucian uang, pendanaan terorisme, dan PPSPM. Sebelumnya, daftar ini lebih dikenal dengan istilah Black List. Sejak pandemi Covid-19 pada Februari 2020, FATF menunda proses review terhadap Korea Utara dan Iran. Oleh karena itu, FATF menyatakan bahwa status Korea Utara dan Iran sebagai negara yang perlu dilakukan Countermeasures masih berlaku. Oleh karena itu, silahkan merujuk pada pernyataan FATF terhadap kedua negara tersebut tanggal 21 Februari 2020. Walaupun penyataan tersebut mungkin tidak mencerminkan kondisi terkini dari rezim APU PPT di negara-negara tersebut, namun seruan FATF untuk menerapkan countermeasures terhadap negara tersebut tetap berlaku.
    • ​​​Jurisdictions subject to a FATF call on its members and other jurisdictions to apply countermeasures
      • Korea Utara (Democratic People's Republic of Korea/DPRK)
        DPRK dinilai gagal mengatasi defisiensi signifikan dalam rezim APU PPT dan ancaman serius yang ditimbulkannya terhadap integritas sistem keuangan internasional. FATF mendesak DPRK untuk segera mengatasi defisiensi tersebut. Lebih jauh, FATF memberi perhatian yang serius atas ancaman yang ditimbulkan oleh kegiatan terlarang DPRK terkait dengan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal dan pendanaannya.
        FATF menegaskan kembali seruannya pada tanggal 25 Februari 2011 kepada para anggotanya dan mendesak semua yurisdiksi untuk menyarankan lembaga keuangan mereka memberikan perhatian khusus pada hubungan bisnis dan transaksi dengan DPRK, termasuk perusahaan DPRK, lembaga keuangan, dan mereka yang bertindak atas nama mereka. Selain pengawasan yang ketat, FATF juga menyerukan kepada anggotanya dan mendesak semua yurisdiksi untuk menerapkan countermeasure yang efektif, dan Targeted Financial Sanction sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB yang berlaku, untuk melindungi sektor keuangan dari pencucian uang, pendanaan terorisme. dan risiko PPSPM yang berasal dari DPRK. Yurisdiksi harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menutup cabang, anak perusahaan, dan kantor perwakilan bank DPRK yang ada di wilayah mereka dan mengakhiri hubungan koresponden dengan bank DPRK, jika diwajibkan oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB.
      • Iran       
        Pada Juni 2016, Iran berkomitmen untuk mengatasi defisiensi strategis yang teridentifikasi pada negaranya melalui action plan dengan batas waktu pada Januari 2028. Pada Februari 2020, FATF mencatat bahwa Iran belum menyelesaikan action plan tersebut.
        Pada Oktober 2019, FATF meminta anggotanya dan mendesak semua yurisdiksi untuk: meminta agar meningkatkan pengawasan dan pemeriksaan terhadap cabang dan anak perusahaan dari lembaga keuangan yang berbasis di Iran; memperkenalkan pelaporan yang ditingkatkan atau pelaporan transaksi keuangan yang sistematis; dan mensyaratkan peningkatan persyaratan audit eksternal untuk konglomerasi keuangan sehubungan dengan cabang dan anak perusahaan mereka yang berlokasi di Iran.
        Saat ini, mengingat kegagalan Iran untuk memberlakukan Palermo and Terrorist Financing Conventions sejalan dengan Standar FATF, FATF sepenuhnya mencabut penangguhan countermeasure dan meminta anggotanya dan mendesak semua yurisdiksi untuk menerapkan countermeasure yang efektif, sesuai dengan Rekomendasi No.19.
        Iran akan tetap menjadi High Risk Jurisdictions Subject to a Call for Action sesuai pernyataan FATF sampai action plan selesai secara lengkap. Jika Iran meratifikasi Palermo and Terrorist Financing Conventions, sejalan dengan standar FATF, FATF akan memutuskan langkah selanjutnya, termasuk apakah akan menangguhkan countermeasure. Sampai Iran menerapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi kekurangan yang diidentifikasi sehubungan dengan penanggulangan pendanaan terorisme dalam action plan, FATF akan tetap memperhatikan risiko pendanaan teroris yang berasal dari Iran dan ancaman yang ditimbulkannya terhadap sistem keuangan internasional.
    • ​​Jurisdiction subject to a FATF call on its members and other jurisdictions to apply enhanced due diligence measures proportionate to the risks arising from the jurisdiction
      Pada Februari 2020, Myanmar berkomitmen untuk menindaklanjuti defisiensi strategisnya. Jangka waktu action plan bagi Myanmar berakhir pada September 2021.
      Pada Juni 2022, FATF sangat mendesak Myanmar untuk segera menyelesaikan action plan pada Oktober 2022 atau FATF akan meminta anggotanya dan mendesak semua yurisdiksi untuk menerapkan enhanced due diligence terhadap hubungan bisnis dan transaksi dengan Myanmar. Mengingat sangat rendahnya kemajuannya dan sebagian besar action plan belum ditindaklanjuti setelah satu tahun melewati tenggat waktu action plan, FATF memutuskan bahwa diperlukan tindakan lebih lanjut sesuai prosedur FATF dan meminta anggotanya dan yurisdiksi lain untuk menerapkan enhanced due diligence sesuai dengan risiko yang timbul dari Myanmar. Saat menerapkan langkah-langkah enhanced due diligence, negara harus memastikan bahwa aliran dana untuk bantuan kemanusiaan, aktivitas Non-Profit Organization (NPO) yang sah, dan pengiriman uang tidak terganggu.
      Myanmar harus terus berupaya menerapkan action plan untuk mengatasi defisiensi mereka, termasuk dengan: (1) menunjukkan pemahaman yang lebih baik tentang risiko TPPU; (2) menunjukkan bahwa pemeriksaan on-site/offsite dilakukan secara berbasis risiko, dan penyedia jasa hundi terdaftar dan diawasi; (3) mendemonstrasikan peningkatan keterlibatan Lemabaga Intelejen Keuangan (Financial Intelligence Unit/FIU) dalam investigasi oleh apparat penegak hukum, dan meningkatkan analisis operasional dan diseminasi oleh FIU; (4) memastikan bahwa pencucian uang diselidiki/dihukum sesuai dengan risikonya; (5) mendemonstrasikan investigasi kasus TPPU transnasional dengan kerjasama internasional; (6) menunjukkan peningkatan pembekuan/penyitaan dan penyitaan hasil kejahatan, alat-alat, dan/atau barang lainnya yang nilainya setara; (7) mengelola barang sitaan untuk menjaga nilai barang sitaan tersebut; dan (8) menunjukkan penerapan targeted financial sanction terkait dengan PPSPM.
      FATF mendesak Myanmar untuk segera mengatasi defisiensi penerapan program APU PPT di mana Myanmar akan tetap berada dalam daftar High-Risk Jurisdiction Call for Action sampai rencana aksi lengkapnya selesai.

      https://www.fatf-gafi.org/en/publications/High-risk-and-other-monitored-jurisdictions/Call-for-action-February-2023.html

  2. Jurisdictions under Increased Monitoring
    Jurisdictions under Increased Monitoring adalah daftar yurisdiksi yang secara aktif bekerja sama dengan FATF untuk mengatasi defisiensi strategis dalam mencegah dan memberantas pencucian uang, pendanaan terorisme, dan pendanaan proliferasi. Dalam hal FATF menempatkan suatu yurisdiksi ke dalam status under Increased Monitoring, berarti yurisdiksi tersebut telah berkomitmen untuk menyelesaikan defisiensi strategis yang teridentifikasi oleh FATF dengan cepat dalam jangka waktu yang disepakati dan dipantau secara ketat. Sebelumnya, daftar ini lebih dikenal sebagai Grey List, yang terdiri dari 2 (dua) kategori, sebagai berikut:
    • Jurisdictions with strategic deficiencies, yaitu yurisdiksi yang dinilai belum mengimplementasikan action plan penerapan program APU PPT sehingga dipantau secara ketat; dan
    • Jurisdictions no longer subject to monitoring, yaitu yurisdiksi yang dianggap telah memiliki kemajuan signifikan sehingga berhasil keluar dari daftar jurisdictions with strategic deficiencies.

    FATF dan FATF-style regional bodies (FSRBs) terus bekerja dengan yurisdiksi yang disebutkan di bawah sebagaimana FATF melaporkan kemajuan yurisdiksi masing-masing dalam mengatasi kekurangan strategis mereka. FATF meminta yurisdiksi ini untuk menyelesaikan action plan dengan cepat dan sesuai dengan jangka waktu yang disepakati. FATF menyambut baik komitmen yurisdiksi tersebut dan akan terus memantau kemajuan mereka. FATF tidak menghimbau langkah-langkah enhanced due diligence untuk diterapkan terhadap yurisdiksi dimaksud. Dalam hal ini, Standar FATF tidak menganjurkan untuk melakukan de-risking, atau memutus hubungan usaha dengan seluruh nasabah dari yurisdiksi tersebut, melainkan Standar FATF menyerukan untuk menerapkan pendekatan berbasis risiko. Sehingga, FATF mendorong anggotanya untuk mempertimbangkan informasi dari negara – negara ini dalam analisis risiko yang dilakukan.

    FATF, secara berkelanjutan, terus mengidentifikasi yurisdiksi lain yang memiliki kekurangan strategis dalam rezim mereka untuk melawan pencucian uang, pendanaan terorisme, dan pendanaan proliferasi. Sejumlah yurisdiksi belum ditinjau oleh FATF dan FSRB, namun akan dilakukan sesuai dengan jadwalnya.

    Sejak awal Pandemi Covid-19, FATF telah memberikan fleksibilitas kepada yurisdiksi yang tidak melaporkan sesuai tenggat waktu, untuk segera melaporkan kemajuan secara sukarela. Negara-negara berikut telah ditinjau kemajuannya oleh FATF sejak Oktober 2022: Albania, Barbados, Burkina Faso, Cayman Islands, Filipina, Gibraltar, Haiti, Jamaika, Jordania, Kamboja, Mali, Maroko, Myanmar, Panama, Senegal, Sudan Selatan, Turki, Uni Emirat Arab dan Uganda.

    Sementara itu, Republik Demokratik Kongo, Mozambik, dan Tanzania memilih menunda pelaporan, dengan demikian status terhadap negara-negara tersebut masih tetap sama seperti pada Oktober 2022, walaupun mungkin tidak mencerminkan kondisi terbaru dari rezim APU PPT di negara tersebut. FATF saat ini juga mengidentifikasi Nigeria dan Afrika Selatan sebagai yurisdiksi yang masuk ke dalam daftar Jurisdictions with strategic deficiencies.

    Dengan demikian, daftar negara/yurisdiksi yang masuk kedalam Jurisdictions under Increased Monitoring pada periode Februari 2023 adalah sebagai berikut:

TanggalJurisdictions with strategic deficienciesJurisdictions no longer Subject to monitoring
24 Februari 2023

Albania

Afrika Selatan

Barbados

Burkina Faso

Cayman Islands

Filipina

Gibraltar

Haiti

Jamaica

Mali

Mozambique

Nigeria

Panama

Republik Rakyat Kongo

Senegal

Sudan Selatan

Suriah

Tanzania

Turki

Uganda

Uni Emirat Arab

Yaman

Yordania

Kamboja

Maroko

Sebagai perbandi​ngan, daftar per Oktober 2022 adalah sebagai berikut:

TanggalJurisdictions with strategic deficienciesJurisdictions no longer Subject to monitoring
21 Oktober 2022

Albania

Barbados

Burkina Faso

Cayman Islands

Filipina

Gibraltar

Haiti

Jamaica

Kamboja

Mali

Maroko

Mozambique

Panama

Republik Rakyat Kongo

Senegal

Sudan Selatan

Suriah

Tanzania

Turki

Uganda

Uni Emirat Arab

Yaman

Yordania

Nicaragua

Pakistan

 

https://www.fatf-gafi.org/en/publications/High-risk-and-other-monitored-jurisdictions/Increased-monitoring-february-2023.html

 

Menindaklanjuti hal tersebut kami menghimbau para Penyedia Jasa Keuangan untuk menindaklanjutinya dengan melakukan mitigasi risiko sesuai dengan ketentuan penerapan program APU PPT yang berlaku.​


Artikel Terkait Lain