Secara rutin, FATF mempublikasikan informasi negara berisiko tinggi dan tidak kooperatif pada laman resminya. Informasi daftar negara berisiko tinggi sesuai informasi yang dirilis pada Oktober 2025 sebagai berikut.
1. High-Risk Jurisdiction subject to a Call for Action
High-risk jurisdictions merupakan negara/yuridiksi yang memiliki defisiensi strategis yang signifikan pada rezim Anti Pencucian Uang, Pencegahan Pendanaan Terorisme, dan Pencegahan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (APU PPT PPPSPM).
FATF meminta seluruh anggotanya dan mendorong seluruh yurisdiksi untuk menerapkan enhanced due diligence (EDD), bahkan tindakan penanggulangan (countermeasures) pada kasus sangat serius terhadap negara yang teridentifikasi high-risk untuk melindungi sistem keuangan internasional dari risiko TPPU, TPPT, dan PPSPM. Daftar ini lebih dikenal sebagai “black list".
Sejak Februari 2020, Iran melaporkan pada Januari, Agustus, dan Desember 2024 serta Agustus 2025 tanpa ada perubahan material dalam status rencana aksinya. Mengingat risiko pendanaan proliferasi yang meningkat, FATF kembali menekankan penerapan countermeasures terhadap yuridiksi berisiko tinggi tersebut.
a. Jurisdictions subject to a FATF call on its members and other jurisdictions to apply countermeasures
- Korea Utara (Democratic People's Republic of Korea/DPRK)
FATF tetap prihatin atas kegagalan DPRK menangani defisiensi signifikan dalam rezim APU PPT dan ancaman dari aktivitas ilegal terkait PPSPM.
Sejak 2011, FATF menekankan perlunya seluruh negara untuk mengimplementasikan secara tegas sanksi keuangan sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB (UNSCR) dan menerapkan countermeasures berikut untuk melindungi sistem keuangan mereka dari ancaman pencucian uang, pendanaan teroris, dan pendanaan proliferasi yang muncul dari DPRK:
- Mengakhiri hubungan korespondensi dengan bank-bank DPRK;
- Menutup anak usaha atau cabang bank-bank DPRK di negara-negara mereka; dan
- Membatasi hubungan bisnis dan transaksi keuangan dengan orang-orang DPRK.
Meski ada seruan tersebut, DPRK tetap memperluas konektivitas dengan sistem keuangan internasional sehingga risiko pendanaan proliferasi meningkat sebagaimana yang dicatat FATF pada Februari 2024. Hal ini menyebabkan perlunya kewaspadaan yang lebih besar dan pembaruan penerapan serta penegakan countermeasures terhadap DPRK. Sebagaimana diatur dalam UNSCR 2270, DPRK sering menggunakan front companies, perusahaan cangkang, joint venture, serta struktur kepemilikan yang rumit dan tidak jelas untuk melanggar sanksi. Oleh karena itu, FATF mendorong seluruh negara termasuk anggotanya untuk menerapkan EDD kepada DPRK dan kemampuannya untuk memfasilitasi transaksi atas nama DPRK.
FATF juga mendorong negara-negara untuk menilai dan memperhitungkan risiko pendanaan proliferasi yang meningkat seiring meluasnya konektivitas keuangan, terutama karena pada penilaian putaran berikutnya negara-negara wajib menilai risiko tersebut sesuai Rekomendasi 1 dan Immediate Outcome 11. Kemampuan mendapatkan informasi yang kredibel dan dapat diandalkan untuk mendukung penilaian risiko pendanaan proliferasi terkait DPRK terhambat dengan berakhirnya mandat 1718 Committee Panel of Experts. Dengan demikian, FATF akan memantau langkah-langkah dalam mematuhi targeted financial sanctions dan implementasi countermeasures terhadap DPRK.
- Iran
FATF mengakui upaya Iran untuk kembali menjalin keterlibatan dengan FATF seiring dengan komitmennya dalam memperbaiki defisiensi pada rezim APU PPT. Pada Juni 2016, Iran telah menyampaikan komitmen politik tingkat tinggi untuk mengatasi defisiensi tersebut melalui rencana aksi yang masa berlakunya berakhir pada Januari 2018. Namun, pada Oktober 2019, minimnya kemajuan dari pihak Iran dalam pelaksanaan rencana aksinya membuat FATF menyerukan kepada seluruh anggotanya serta mendorong semua yurisdiksi untuk meningkatkan pengawasan terhadap cabang dan anak perusahaan lembaga keuangan yang berbasis di Iran, menerapkan mekanisme pelaporan yang lebih ketat atau pelaporan sistematis atas transaksi keuangan yang melibatkan Iran, dan menetapkan persyaratan audit eksternal tambahan bagi kelompok keuangan yang memiliki cabang atau anak perusahaan di Iran. Sejak Februari 2020, Iran gagal melaksanakan rencana aksinya sehingga FATF meminta seluruh anggotanya dan mewajibkan semua yurisdiksi untuk menerapkan countermeasures yang efektif sesuai dengan Rekomendasi 19 FATF.
Pada September 2025, Iran menyampaikan informasi terbaru kepada FATF terkait ratifikasi United Nations Convention against Transnational Organized Crime (Konvensi Palermo). Meskipun FATF mencatat adanya penyampaian dan keterlibatan tersebut, saat ini FATF menilai bahwa pernyataan keberatan yang diajukan Iran terhadap Konvensi Palermo terlalu luas, serta implementasi domestik Iran terhadap konvensi tersebut belum sejalan dengan standar FATF. FATF juga mencatat bahwa Iran belum berhasil menyelesaikan sebagian besar poin dalam rencana aksinya sejak tahun 2016.
Dengan mempertimbangkan UNSCR yang berkaitan dengan ketidakpatuhan Iran terhadap kewajiban non-proliferasi nuklirnya, FATF mengingatkan seluruh yurisdiksi mengenai kewajiban mereka berdasarkan standar FATF untuk mengatasi risiko pembiayaan proliferasi yang berasal dari Iran. Selain itu, mengingat masih adanya ancaman pembiayaan terorisme dan pembiayaan proliferasi yang bersumber dari Iran serta rencana aksi Iran yang belum terselesaikan, FATF menegaskan kembali kepada seluruh anggota dan mendorong semua yurisdiksi untuk menerapkan countermeasures yang efektif terhadap Iran, termasuk:
- menolak pendirian anak perusahaan, cabang, atau kantor perwakilan dari lembaga keuangan yang berasal dari negara tersebut, atau mempertimbangkan fakta bahwa lembaga keuangan terkait berasal dari negara yang tidak memiliki sistem APU PPT yang memadai; dan
- melarang lembaga keuangan untuk mendirikan cabang atau kantor perwakilan di negara tersebut, atau mempertimbangkan bahwa cabang atau kantor perwakilan tersebut akan berada di negara yang tidak memiliki sistem APU PPT yang memadai.
Iran akan terus teridentifikasi sebagai High Risk Jurisdictions Subject to a Call for Action sampai seluruh rencana aksi terpenuhi. Jika Iran meratifikasi Palermo and Terrorist Financing Conventions sesuai dengan standar FATF, FATF akan memutuskan langkah selanjutnya, termasuk apakah countermeasures akan ditangguhkan.
FATF sangat mendorong Iran untuk bekerja sama secara aktif dengan FATF guna mempercepat kemajuan dalam pelaksanaan rencana aksinya, dengan tujuan untuk mengatasi hal-hal berikut: 1) mengkriminalisasi secara memadai tindak pidana pendanaan terorisme, termasuk dengan menghapus pengecualian terhadap kelompok yang disebut “berupaya mengakhiri pendudukan asing, kolonialisme, dan rasisme."; 2) mengidentifikasi dan membekukan aset-aset teroris sesuai dengan UNSCR yang relevan; 3) memastikan penerapan CDD yang memadai dan dapat ditegakkan secara efektif; 4) menunjukkan bagaimana otoritas mengidentifikasi dan memberikan sanksi kepada penyedia layanan transfer uang/nilai yang tidak berizin; 5) meratifikasi dan mengimplementasikan Konvensi Pendanaan Terorisme (TF Convention) sesuai dengan standar FATF, serta memastikan bahwa ratifikasi dan implementasi Konvensi Palermo juga sejalan dengan standar FATF, termasuk memperjelas kemampuan untuk memberikan mutual legal assistance; dan 6) memastikan bahwa lembaga keuangan memverifikasi kelengkapan informasi pengirim dan penerima pada setiap transaksi wire transfer.
b. Jurisdiction subject to a FATF call on its members and other jurisdictions to apply enhanced due diligence measures proportionate to the risks arising from the jurisdiction
- Myanmar
Pada Februari 2020, Myanmar berkomitmen untuk membahas defisiensi strategisnya. Rencana aksi Myanmar telah berakhir pada September 2021.
Pada Oktober 2022, mengingat kurangnya kemajuan dan rencana aksi yang belum ditangani setelah setahun lewat dari tenggat rencana aksi, FATF memutuskan bahwa aksi lanjutan diperlukan sejalan dengan prosedurnya serta FATF meminta anggotanya dan yuridiksi lain untuk menerapkan langkah EDD sesuai risiko yang muncul dari Myanmar. Sebagai bagian dari EDD, FATF mewajibkan lembaga keuangan untuk meningkatkan derajat dan dasar pengawasan hubungan bisnis dalam rangka menentukan apakah transaksi atau aktivitas tersebut terlihat tidak biasa atau mencurigakan. Jika tidak ada kemajuan per Februari 2026, FATF akan mempertimbangkan countermeasures.
Mengingat kemajuannya masih berjalan lambat, Myanmar baru-baru ini menunjukkan perkembangan dalam hal pengelolaan aset yang disita guna menjaga nilainya hingga dilakukan penyitaan secara resmi. Namun demikian, Myanmar perlu segera mengambil langkah-langkah konkret untuk melaksanakan rencana aksi FATF dalam rangka mengatasi defisiensi strategisnya, termasuk: (1) mendemonstrasikan penggunaan yang lebih maju dari financial intelligence di investigasi law enforcement authorities (LEAs) serta meningkatkan analisis operasional dan diseminasi oleh financial intelligence unit (FIU); (2) memastikan bahwa TPPU diselidiki/dituntut sesuai dengan risikonya; (3) mendemonstrasikan investigasi kasus TPPU transnasional dengan kerja sama internasional; dan (4) menunjukkan peningkatan pembekuan/penyitaan dan penyitaan hasil tindak pidana, alat-alat, dan/atau harta benda yang nilainya setara.
Ketika menerapkan EDD, negara perlu memastikan bahwa aliran dana untuk bantuan kemanusiaan, aktivitas NPO yang sah, dan pengiriman uang tidak terganggu maupun terhambat. Utamanya terkait bantuan gempa bumi di Myanmar, FATF memahami pentingnya memastikan implementasi rekomendasi tidak berdampak pada NPO apalagi menghalangi masyarakat sipil dan pemberian bantuan kemanusiaan. FATF juga akan terus memantau apakah aktivitas APU PPT Myanmar menerapkan pengawasan yang tidak semestinya terhadap aliran keuangan yang sah.
Myanmar akan tetap berada dalam daftar countries subject to a call for action sampai seluruh rencana aksi terpenuhi.
2. Jurisdiction under Increased Monitoring
Jurisdictions under increased monitoring secara aktif bekerja sama dengan FATF untuk menangani defisiensi strategis dalam rezim APU PPT PPPSPM mereka. Ketika FATF menempatkan suatu yuridiksi dalam status under increased monitoring, hal ini berarti negara tersebut berkomitmen untuk mengatasi dengan cepat kelemahan tersebut dalam rentang waktu yang disepakati dan merupakan subyek pengetatan pemantauan. Daftar ini sering disebut sebagai “grey list".
FATF dan FATF-style regional bodies (FSRBs) terus bekerja sama dengan yuridiksi di bawah ini seiring laporan kemajuan yang dicapai yuridiksi tersebut dalam menangani defisiensi strategis. FATF meminta yuridiksi tersebut untuk memenuhi rencana aksi secepatnya dan dalam rentang waktu yang disepakati. FATF menyambut baik komitmen mereka dan akan memantau kemajuannya dengan cermat. FATF tidak menyerukan penerapan langkah-langkah EDD untuk diterapkan pada daftar yurisdiksi ini. Standar FATF tidak mengatur de-risking atau pembatasan atas seluruh nasabah, tetapi mendorong penerapan pendekatan berbasis risiko. Oleh karena itu, FATF mendorong para anggotanya dan seluruh yurisdiksi untuk mempertimbangkan informasi yang disajikan di bawah ini dalam analisis risiko mereka.
FATF secara berkelanjutan, terus mengidentifikasi yurisdiksi lain yang memiliki defisiensi strategis dalam rezim APU, PPT, dan PPPSPM. Sejumlah yurisdiksi belum ditinjau oleh FATF dan FSRB, namun akan dilakukan sesuai dengan jadwalnya.
| Tanggal | Jurisdiction with strategic deficiencies | Jurisdiction no longer Subject to monitoring |
| 24 Oktober 2025 | Algeria
Angola
Bolivia
Bulgaria
Cameroon
Cote D'Ivorie (Pantai Gading)
Democratic Republic of the Congo
Haiti
Kenya
Lao PDR (Laos)
Lebanon
Monaco
Namibia
Nepal
South Sudan
Syria
Venezuela
Vietnam
Virgin Islands (UK)
Yemen | Burkina Faso
Mozambique
Nigeria
South Africa |
Sumber: