Tak ingin mengulang terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang
memberi kerugian sangat besar, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) menyiapkan kebijakan yang wajib dipatuhi. Hal itu
dilakukan untuk meningkatkan perlindungan dan pengelolaan kawasan
gambut.
“Salah satunya adalah Peraturan Pemerintah RI Nomor. 57
Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor. 71 Tahun
2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut,” ujar
Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono dalam sosialisasi perubahan
kebijakan di Gedung Manggala Wanabakti KLHK, Senin (20/3).
Ia
mengatakan, kejadian karhutla yang selama ini terjadi mayoritas berada
di areal gambut dengan fungsi lindung dan budidaya. Sayangnya, dalam PP
71/2014 belum terdapat butir yang mengatur penanganan kerusakan
ekosistem gambut akibat karhutla.
Terbitnya PP 57/2016 tersebut
bertujuan untuk mengakomodir upaya pencegahan karhutla dan penegakan
hukum dalam konteks perlindungan gambut. Dalam PP tersebut juga
dimasukkan penambahan, penguatan serta penyesuaian pasal-pasal
berdasarkan amanat Undang-undang Nomor. 32 Tahun 2009 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Perubahan juga dilakukan terhadap
Peraturan Menteri LHK Nomor P.12/MENLHK-II/2015 tentang Pembangunan
Hutan Tanaman Industri melalui Peraturan Menteri LHK Nomor.
P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017. Ada beberapa perubahan mendasar dalam
peraturan ini, yaitu kriteria penetapan kawasan lindung gambut,
pengaturan perubahan areal tanaman pokok dan tanaman kehidupan menjadi
fungsi lindung, pengaturan areal tanaman pokok dan tanaman kehidupan
menjadi fungsi budidaya dan kebijakan areal lahan usaha pengganti (land
swap) seluas 40 persen. Perubahan ini dilakukan sebagai tindak lanjut
pencegahan karhutla yang terjadi di kawasan Hutan Tanaman Industri
(HTI).
Terkait HTI, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan
Kerusakan Lingkungan (PPKL) M.R. Karliansyah mengatakan, luas ekosistem
gambut yang berada di kawasan HTI diketahui seluas 2.641.483 hektare
dan 1.427.786 juta hektare merupakan fungsi lindung. Dengan terbitnya
peraturan kebijakan ini, ia melanjutkan, setiap perusahaan wajib
melaksanakan inventarisasi eksosistem gambut, revisi Rencana Kerja Umum
(RKU), mengajukan permohonan penyesuaian perijinan, serta wajib
mentaati semua persyaratan lainnya sesuai peraturan tersebut.
Tidak
hanya itu, pengukuran muka air tanah juga dilakukan pada titik penataan
ekosistem gambut yang disepakati. Titik penataan minimal
sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah petak atau blok produksi yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal teknis atas dasar kesesuaian.
“Terkait
pemulihan ekosistem gambut, wajib dilakukan di fungsi lindung dan
budidaya. Kubah gambut yang belum diusahakan, wajib dipertahankan
sebagai ekosistem gambut dengan fungsi lindung,” ujar dia. Sementara
itu, kubah gambut yang sudah dilakukan kegiatan budidaya, dilarang
ditanami kembali dan wajib dilakukan pemulihan.
Sumber: Republika