Sosialisasi Program APU PPT pada Program Pendidikan Berkelanjutan (PPL Dirkom) Anggota Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia

Grup Penanganan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (GPUT), diwakili Ibu Dewi Fadjarsari H, telah menjadi narasumber dalam pelaksanaan Program Pendidikan Berkelanjutan (PPL Dirkom) bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek. Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia pada tanggal 22 Januari 2020 yang dihadiri oleh 100 Direksi dan Dewan Komisaris Perusahaan Efek anggota APEI.

Sosialisasi APEI 1.jpgDalam kegiatan tersebut, OJK memaparkan materi terkait penerapan program APU PPT, yang mencakup hal-hal sebagai berikut:

  1. Gambaran secara internasional dan nasional terkait dengan Rezim APU PPT termasuk peran Komite Koordinasi Nasional TPPU. Tugas Komite TPPU yang juga mencanangkan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU/TPPT (STRANAS TPPU/TPPT) yang mana hal tersebut juga menjadi tugas dan tanggung jawab OJK sehingga menjadi sasaran strategis OJK.
  2. Indonesia dalam Rezim APU PPT menjadi anggota Asia Pacific Group on Money Laundering (APG) yang merupakan FATF-Style Regional Bodies (FSRB) sesuai dengan letak geografisnya. Indonesia adalah satu-satunya negara G20 yang belum menjadi anggota FATF. Oleh sebab itu, Pemerintah RI dalam hal ini Menteri Keuangan RI telah mengajukan Indonesia sebagai anggota sejak tahun 2017 dengan proses tertentu. Saat ini Indonesia pada tahap pelaksanaan Mutual Evaluation Review (MER) dalam proses keanggotaan FATF. 
    Peran OJK sangat besar dan signifikan dalam Rezim APU PPT Indonesia karena pihak pelapor yang diawasinya juga signifikan sehingga OJK dan Sektor Jasa Keuangan Indonesia memegang peranan penting dalam menunjang dan mendukung efektifitas Rezim APU PPT Indonesia.
  3. Publikasi oleh FATF terkait dengan high risk and non-cooperative jurisdiction, yaitu daftar negara yang memiliki kekurangan atau defisiensi dalam peraturan dan perundang-undangannya termasuk efektivitas penerapannya yang mengacu kepada 40 Rekomendasi FATF. Negara yang masuk dalam daftar negara berisiko tinggi termasuk public statement mencerminkan negara gagal atau negara yang mengalami defisiensi dalam ketentuan/peraturan dan penerapan program APU PPT, atau negara yang sedang dalam konflik peperangan atau politik lainnya. Sehingga kewajiban penerapan program APU PPT adalah hal yang mutlak dan perlu sebagai bagian menjaga harkat, martabat dan kedaulatan negara Republik Indonesia (bela negara).
  4. Negara yang menerapkan program APU PPT adalah salah satu pelidung atau shield untuk menjaga sistem keuangan yang berintegritas yang tidak bercampur dengan dana ilegal yang berasal dari tindak pidana kejahatan. Dapat dibayangkan apabila tidak adanya penerapan program APU PPT, maka para pelaku kejahatan dengan seenaknya dapat memasukkan hasil kejahatan ke dalam sistem keuangan tanpa tersentuh oleh tindakan pencegahan dan pemberantasan. Hal itu mencerminkan tidak adanya harkat dan martabat suatu bangsa dan negara.
  5. Perlu disadari bahwa seluruh Penyedia Jasa Keuangan (PJK) yang berada di seluruh dunia di seluruh belahan dunia memiliki kewajiban yang sama yaitu penerapan program APU PPT yang mengacu kepada Rekomendasi FATF.
  6. Kaitan penilaian penerapan rezim APU PPT dengan AML Basel Index, Corruption Perseption Index (CPI), rule of law index, ease of doing business index, gambaran Indonesia dari International Narcotics Control Strategy Report dan UNODC sehingga akhirnya membentuk penilaian risiko jurisdiksi dimana semua hal tersebut terkait dengan penerapan program APU PPT.
  7. Hasil National Risk Assessment (NRA) dan Sectoral Risk Assessment (SRA) Tahun 2019 untuk menjadi acuan bagi PJK dalam penyusunan individual risk assessment dan penerapan program APU PPT berbasis risiko.
  8. Penerapan Risk Based Approach (RBA) dalam program APU PPT suatu PJK yang mendasarkan kepada nasabah, produk & jasa, area geografis dan jaringan distribusi yang harus disadari dan dipahami oleh PJK dengan mendasarkan kepada NRA/SRA dan sebagai dasar dalam memitigasi risiko TPPU/TPPT yang dihadapinya. Hal itu juga berlaku pada Otoritas Pengawasan yang akan menentukan tindakan pengawasannya yaitu apabila PJK yang diawasinya berisiko Rendah, Menengah dan Tinggi, maka Pengawas akan melakukan pemeriksaan program APU PPT sekali dalam 3 tahun; sekali dalam 2 tahun dan sekali dalam 1 tahun.
  9. Setelah memahami RBA, PJK wajib memperhatikan inti dari penerapan program APU PPT dalam melakukan hubungan usaha dengan nasabah baik nasabah korporasi dan nasabah perorangan serta nasabah PEPs yaitu pelaksanaan CDD Sederhana, CDD dan EDD yang sesuai dengan profil risiko nasabahnya. Perlu diingat bahwa dalam prinsip penerapan program APU PPT, PJK diwajibkan untuk melakukan penolakan dan pemutusan hubungan usaha apabila nasabah tidak koperatif dana atau diduga/diketahui bahwa dana nasabah berasal dari sumber yang haram.
  10. PJK juga agar memperhatikan identifikasi dan verifikasi terhadap Beneficial Owner (BO), mengingat kejahatan keuangan yang berasal dari korporasi memiliki magnitute yang lebih besar, karena kejahatan yang ditimbulkan berdampak besar kepada perekonomian dan integritas sistem keuangan. Misalnya kasus Lumpur Lapindo dan Kasus Bophal India.

Sebagai penutup, dipaparkan juga statistik penyampaian kewajiban laporan Perusahaan Efek kepada PPATK. Pelaporan transaksi keuangan mencurigakan agar menjadi concern bagi seluruh Direksi dan Komisaris karena berdasarkan data dari PPATK untuk data LTKM untuk Pasar Modal berada pada posisi ketiga terendah setelah Perbankan dan Industri Jasa Keuanan Non Bank. Kemudian disampaikan pula bahwa pada LTKM Sektor Pasar Modal diketahui bahwa 84% LTKM hanya berasal dari satu perusahaan. Dalam kesempatan tersebut, diingatkan agar Direksi dan Komisaris memiliki kesadaran dalam penerapan program APU PPT sebagai tone of the top dengan memperhatikan kecukupan kebijakan dan prosedur; sistem informasi manajemen; sistem pengendalian dan SDM & Pelatihan. Dalam penerapan program APU PPT dibutuhkan investasi baik dari sisi Sistem Informasi dan pelatihan pegawai sebagai human capital dan merupakan backbone dalam organisasi yang akan tumbuh secara berkelanjutan dalam jangka panjang atau going concern. Dalam melakukan bisnisnya perlu adanya kesadaran penuh untuk melakukan investasi pada hal tersebut sehingga penerapan program APU PPT dapat berjalan dengan baik yang tercermin dari output keluarannya berupa pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM) yang berkualitas kepada Financial Inteligent Unit (FIU) negara yang bersangkutan. 

Sosialisasi APEI 2.jpg


Artikel Terkait Lain