Pelaksanaan Financial Action Task Force (FATF) Plenary Meeting 22 – 25 Februari 2021

Financial Action Task Force (FATF) telah menyelenggarakan Plenary Meeting secara virtual pada tanggal 22, 24 dan 25 Februari 2021. Kegiatan dimaksud dihadiri oleh 205 delegasi yang mewakili negara/yurisdiksi anggota FATF, perwakilan FATF Style Regional Bodies (FRSB), observer dari perwakilan badan internasional terkait, maupun negara observer termasuk Indonesia. Delegasi Indonesia diwakili oleh Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) selaku focal point rezim APU-PPT di Indonesia.

PPATK menyiarkan secara langsung FATF Plenary Meeting agar Kementerian/Lembaga terkait dapat turut serta menyimak FATF Plenary Meeting ini secara virtual,mengingat  terbatasnya jumlah perwakilan untuk terdaftar secara langsung dalam FATF Plenary Meeting. OJK berkesempatan hadir untuk menyimak siaran langsung jalannya FATF Plenary Meeting dimaksud.

FATF Plenary Meeting ini diselenggarakan untuk dapat membahas inisiatif strategis yang dapat memperkuat pengamanan global guna mendeteksi, mencegah, dan mengganggu aliran keuangan yang memicu kejahatan dan terorisme. Selain itu, adanya kondisi Pandemi Covid-19 terus memberikan dampak pada keluarga, layanan kesehatan, komunitas, dan ekonomi di seluruh dunia, para penjahat terus mengeksploitasi krisis untuk mendapatkan keuntungan finansial. Oleh karena itu, delegasi juga terus bekerja untuk memberantas pencucian hasil kejahatan termasuk yang terkait dengan Pandemi Covid-19. Karena negara-negara fokus pada pemulihan dari krisis ini, maka penting bagi negara untuk menerapkan Standar FATF secara penuh dan efektif, serta menggunakan pendekatan berbasis risiko untuk mengurangi risiko pencucian uang dan pendanaan teroris.

Selama diskusi berjalan, para delegasi dalam sidang FATF menyelesaikan pekerjaan disejumlah bidang penting. Hal tersebut diantaranya pedoman untuk membantu negara-negara dalam melaksanakan pengawasan berbasis risiko yang lebih efektif, pedoman untuk menyelidiki dan menuntut pendanaan teroris serta penanganan perdagangan senjata ilegal dan pendanaan teroris yang dikhususkan bagi otoritas yang berwenang. Para delegasi juga setuju untuk merilis rancangan public consultation paper untuk membantu negara, lembaga keuangan, dan lembaga jasa lainnya dalam mengidentifikasi, menilai, dan mengurangi risiko pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal, dan pedoman terbaru terkait virtual assets dan Virtual Asset Service Providers (VASPs).

FATF juga melanjutkan pekerjaannya pada masalah utama yang sedang berlangsung antara lain digitalisasi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penerapan  Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan terorisme (APU / PPT). Secara khusus, FATF setuju untuk memulai pekerjaan baru pada transformasi digital APU/PPT untuk lembaga operasional. FATF juga melanjutkan diskusi tentang tinjauan strategis,  terkait pelaksanaan Mutual Evaluation (ME) berikutnya agar lebih tepat waktu dan berbasis risiko. Delegasi juga mengeksplorasi potensi amandemen untuk lebih memperkuat persyaratan FATF tentang Beneficial Ownership. Berdasarkan hasil ME FATF, menunjukkan bahwa penjahat masih dapat menyembunyikan aset gelap mereka di balik struktur hukum anonim atau kompleks. Delegasi membahas cara meningkatkan transparansi dan memastikan bahwa informasi Beneficial Ownership terbaru tersedia bagi pihak berwenang. FATF juga membahas temuan awal terkait dengan pemulihan aset penjahat, penanganan pencucian uang dari kejahatan lingkungan, dan pendanaan terorisme yang bermotif etnis dan ras.

FATF Plenary Meeting pertama yang dipimpin Presiden FATF dari Jerman berhasil berjalan dengan lancar dengan dua outcomes sebagai berikut:

1.  Isu Inisiatif Strategis

a.    Peningkatan Pengawasan Berbasis Risiko

Proses Pengawasan penerapan program APU-PPT berperan penting dalam pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme. Pengawasan program APU-PPT dapat membantu entitas yang diawasi seperti Penyedia Jasa Keuangan, atau penyedia barang dan jasa lainnya memiliki pemahaman risiko dan melakukan mitigasi risiko yang tepat. Pengawasan yang efektif dapat memastikan entitas yang diawasi patuh terhadap kewajiban penerapan program APU-PPT dan menerapkan tindakan yang sesuai jika entitas tersebut gagal mematuhinya.

Pengawasan dengan pendekatan berbasis risiko mencakup seluruh risiko mulai dari risiko tinggi sampai dengan risiko rendah, namun memfokuskan sumber daya pada risiko yang lebih tinggi. Pendekatan berbasis risiko ini tidak terlalu membebani sektor dan aktivitas yang berisiko rendah, salah satunya sektor atau aktivitas yang meningkatkan inklusi keuangan.

Dalam hal ini, Pengawas perlu memiliki pemahaman mendalam terkait risiko yang dihadapi entitas yang diawasinya. Pengawas juga perlu memiliki kewenangan, kapasitas dan sumber daya yang memadai serta dukungan yang bersifat strategis dan teknis dari organisasi.

Dalam sidang FATF, telah disetujui untuk menerbitkan pedoman baru yang dapat meningkatkan efektivitas pengawasan program APU-PPT berbasis risiko yang membahas tantangan  implementasi bersifat umum dan contoh negara serta strategi untuk mengawasi profesi non-keuangan dan Virtual Asset Service Providers (VAPSs). Pedoman akan dipublikasikan pada minggu pertama bulan Maret 2021.

b.    Mengurangi risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme dari virtual assets

FATF menyetujui penerbitan update to the FATF guidance for virtual assets and VASPs for public consultation. Sebelumnya pedoman tersebut diterbitkan pada pada bulan Juni 2019 disertai perubahan standar FATF. Standar FATF menjelaskan kewajiban APU PPT terhadap aset virtual dan VASPs. Rekomendasi FATF mengharuskan VASP diatur, dilisensikan dan didaftarkan, serta dilakukan pemantauan dan pengawasan. Berdasarkan hasil review selama 12 bulan atas penerapan tersebut, menunjukkan bahwa sektor publik dan swasta telah memiliki kemajuan dan menerapkan langkah-langkah yang efektif. Namun masih diperlukan pedoman yang lebih luas, termasuk bagi negara yang memiliki kapasitas lebih rendah.

FATF telah memperbaharui pedoman untuk menangani area tertentu dan akan menerbitkan konsep public consultation paper pada bulan Maret 2021. Selanjutnya, feedback dan penetapan konsep dimaksud akan dilakukan pada plenary meeting bulan Juni 2021.

c.    Penguatan Pendanaan Proliferasi Pemusnah Massal

FATF telah menyetujui pedoman baru tentang Guidance On Proliferation Financing Risk Assessment And Mitigation For Public Consultation.

Pada bulan Oktober 2020, FATF secara signifikan memperkuat langkah pencegahan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal dan berkomitmen untuk mengembangkan pedoman untuk membantu negara dan sektor swasta dalam melakukan penilaian dan mitigasi risiko pendanaan proliferasi. FATF akan mengeluarkan konsep public consultation paper pada bulan Maret 2021. Selanjutnya, feedback dan penetapan konsep dimaksud akan dilakukan pada plenary meeting bulan Juni 2021

d.    Peningkatan investigasi dan penuntutan pendaaan terorisme

Proses investigasi dan penuntutan pendanaan terorisme merupakan bagian fundamental dan menantang dalam Rezim Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT). Penilaian yang dilakukan di seluruh global network menyoroti bahwa banyak negara memiliki kelemahan mendasar dalam penyelidikan dan penuntutan pelaku TPPT. Dewan Keamanan PBB juga mengungkapkan keprihatinan tersebut dalam Resolusi 2462 (2019), yang mendorong penyelidikan dan penuntutan TPPT yang lebih efektif.

Saat ini FATF sedang melakukan finalisasi pedoman yang menyediakan best practices bagi Otoritas negara utnuk meningkatkan efektivitas tindakan hukum terhadap TPPT. Panduan ini mencakup deteksi, strategi investigasi untuk jenis umum aktivitas pendanaan terorisme, pembuktian niat dan pengetahuan, serta penyitaan aset. Laporan bersifat rahasia dan dapat diperoleh untuk Otoritas nasional terkait. Dalam hal pejabat negara membutuhkan laporan tersebut, dapat menghubungi Sektretariat FATF.

e.    Penanganan perdagangan ssenjata ilegal dan pendanaan terorisme

Perdagangan senjata ilegal memicu konflik di seluruh dunia dan berdampak pada kehidupan warga sipil. Saat ini FATF telah menyetujui laporan yang akan meningkatkan awareness di seluruh global network, khususnya dalam konteks National Risk Assessment dan membantu negara untuk mengembangkan operasional yang lebih efektif. Laporan rahasia ini mencakup masukan dari seluruh global network yang dapat diperoleh untuk otoritas nasional terkait. Dalam hal pejabat negara membutuhkan laporan tersebut, dapat menghubungi Sektretariat FATF.


2.  Country-specific processes

a.    Penanganan Mutual Evaluation (ME) pada Pandemic Covid-19

Pandemic Covid-19 terus berdampak pada proses penyelesaian ME. Beberapa negara saat ini mengalami penundaan dalam proses ME. Dalam proses penanganan ME, ditawarkan beberapa opsi yaitu:

  • Option 1
    Prosedur sama dengan prosedur yang ditetapkan pada Oktober 2020, dengan ketentuan yang relatif ketat sehingga terdapat risiko penundaan jadwal on-site visit ME kembali terhadap negara yang belum terpenuhi persyaratan dalam prosedur dimaksud.

  • Option 2
    Prosedur yang sama dengan prosedur pada Oktober 2020 namun dengan menambahkan beberapa prosedur tambahan yang lebih fleksibel, sampai dimungkinkannya on-site visit ME dilaksanakan fully virtual.

  • Option 3
    Penundaan proses MER sampai dengan kondisi Pandemi lebih kondusif.

Dalam hal ini, Sekretariat FATF merekomendasikan dapat menerapkan option 2.

Dalam kesempatan tersebut Kepala PPATK menyampaikan bahwa Indonesia berharap melaksanakan on-site visit pada bulan Juli 2021. Indonesia mendukung untuk dapat dilaksanakan on-site visit ME secara fully virtual. Namun demikian, apabila akan dilakukan secara hybrid, negara akan menyiapkan infrastruktur yang lebih ketat.

Konsesus menyepakati pelaksanaan ME menggunakan mekanisme pada option 2 dengan tindak lanjut:

  • FATF akan melakukan pembahasan prosedur baru pelaksanaan ME selama Pandemi covid pada bulan April.
  • Setelah penetapan prosedur baru, akan dilakukan pembahasan jadwal dan komitmen masing-masing negara yang akan melakukan assessment.

Sesuai mekanisme option 2, jadwal ME Indonesia adalah sebagai berikut:

  • On-site visit: bulan Juli 2021
  • Face to face meeting: Desember 2021
  • Plenary discussion: Februari 2022

b.    Hasil MER dari Selandia Baru

Dalam sidang FATF periode Februari 2021 ini, dibahas juga hasil MER dari Selandia Baru/New Zealand. Sidang menyimpulkan bahwa langkah-langkah New Zealand untuk memerangi pencucian yang dan pendanaan terorisme memberikan hasil yang baik. Namun demikian, masih terdapat beberapa hal yang perlu ditingkatkan yakni fokus pada peningkatan ketersediaan informasi beneficial ownership, penguatan pengawasan, dan penerapan tindak lanjut atas targeted financial sanction. New Zealand dinilai telah memiliki pemahaman yang baik atas risiko yang dihadapinya, dan mencapai hasil yang substansial dalam penyelidikan dan penututan pencucian uang dan pendanaan terorisme serta pemberdayaan financial intelligence. New Zealand juga dinilai particularly effective dalam penyitaan hasil kejahatan dan kerjasama pelaksanaan internasional dengan mitra internasionalnya.

Selanjutnya FATF akan merilis dokumen laporan lengkap hasil MER dari New Zealand pada bulan April 2021 setelah dilakukan quality and consistency review.

c.    Penetapan jurisdictions under incread monitoring dan high risk jurisdictions subject to a call for action

  • Negara  yang baru ditetapkan sebagai "Jurisdictions under incread monitoring" adalah Burkina Faso, the Cayman Islands, Morocco and Senegal
  • Negara yang ditetapkan sebagai high risk jurisdictions subject to a call for action tidak berubah dari Februari 2020

d.    Penguatan jaringan global

Kerja sama FATF dengan the FATF-style regional bodies (FSRBs) sangat penting untuk memastikan implementasi Rekomendasi FATF yang efektif. Saat ini FSRB menghadapi tantangan dalam penyelesaian ME selama Pandemic Covid-19.

Dalam rangka membantu FSRB menyelesaikan proses MER, FATF setuju untuk memprioritaskan penyelesaian MER bagi anggota dan observer FATF.


Hasil FATF Plenary Meeting ini diharapkan menjadi informasi bagi Penyedia Jasa Keuangan (PJK) beserta stakeholder lain, serta dapat dijadikan pertimbangan dan rujukan dalam menerapkan program APU PPT berbasis risiko, khususnya upaya mitigasi risiko TPPU dan TPPT di masa Pandemi Covid-19. Selanjutnya, dengan adanya informasi mengenai usulan jadwal kelanjutan MER Indonesia oleh FATF, seluruh pihak baik OJK, PJK, dan stakeholder lain, dapat terus mempersiapkan diri dan meningkatkan implementasi program APU PPT berbasis risiko yang efektif dan sesuai dengan rekomendasi FATF.


Artikel Terkait Lain