Berita - 13 Januari 2022

Subsidi dan Insentif Belum Cukup Dorong Investasi Hijau

Sumber  :  Subsidi dan Insentif Belum Cukup Dorong Investasi Hijau

Jakarta - Menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) perubahan iklim atau Conference of Parties (COP 26) di Glasgow, Skolandia, pada 1-2 November mendatang, investasi untuk mempercepat transisi dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT) masih menjadi tantangan.

Penasihat Senior Ekonomi Kementerian Investasi/BKPM Indra Darmawan mengatakan, untuk mendorong investasi EBT, pemerintah telah menyediakan subsidi dan insentif. Meski demikian, dua hal tersebut belum cukup karena transisi ke arah energi baru kompleks. 

"Kondisi yang kita hadapi saat ini adalah urgensi jangka pendek yang dimanifestasikan dengan krisis energi dengan kompleksitas transisi ke masa panjang," kata Indra dalam talkshow dengan tema accalerating investment for transition, Kamis (21/10/2021). 

Menurut Indra, transisi ke masa panjang untuk menggantikan sumber energi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kebijakan subsidi dan insentif ternyata tidak cukup untuk mendorong investasi EBT.

Subsidi dan Insentif Belum Cukup Dorong Investasi Hijau

 

"Yang harus kita lakukan adalah langsung action saja. Kita lakukan beberapa yang kira-kira bisa menguntungkan secara ekonomi, diterima secara sosial di suatu lokasi, dan sekaligus rendah karbon. Saya pikir itu adalah inti dari sustainable development. Kita kembali ke basic-nya. Lalu kita lakukan lagi menjadi sebuah kerja yang nyata," ujarnya.

Ia menambahkan, krisis energi yang terjadi saat ini akan mengubah cara pandang dan meyakinkan bahwa energi hijau harus berlimpah. Tantangannya kemudian adalah meningkatkan investasi di bidang EBT. 

Indra memaparkan, data Kementerian Investasi dan BKPM terkait investasi setiap tahun terdapat realisasi sekitar Rp800 triliun. Jumlah itu berasal dari asing dan lokal. 

"Kita tidak kategorikan mana yang hijau dan tidak. Dua bulan lalu kita sudah groundbreaking sebuah proyek investasi besar untuk memproduksi mobil listrik," tuturnya. 

Sebelumnya, kata Indra, pemerintah telah menelurkan proyek investasi di Citata, yaitu PLTA. Terdapat pula pembangkit listrik tenaga bayu di Sulawesi dengan kapasitas 75 Megawatt. Meski demikian, untuk mencapai target energi terbarukan 23 persen di tahun 2025, masih diperlukan tambahan 9000 Megawatt. 

Direktur Financial Policy Group Otoritas Jasa Keuangan, Greatman Rajab mengatakan kebutuhan pendanaan pembangunan rendah karbon dan net zero emission sangat besar. 

"Ibu Menkeu dua hari yang lalu mengatakan bahwa angka 479 miliar USD yang dibutuhkan untuk menurunkan 41 persen emisi karbon hingga 2030, angka yang luar biasa. Ini memberi peluang bagi industri jasa keuangan untuk bisa ikut terlibat dalam pendanaan berkelanjutan," ungkapnya. 

Menurut Greatman, OJK berupaya mendorong pendanaan berkelanjutan dengan mengeluarkan beberapa regulasi keuangan berkelanjutan. Diantaranya POJK Nomor 51 tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, baik sektor perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non bank. 

Selain POJK nomor 51 tahun 2017, OJK juga mengeluarkan POJK nomor 60 tahun 2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang yang Berwawasan Lingkungan. OJK menyebut POJK tersebut tentang Green Bon. Sejak diterbitkannnya POJK ini, green bon yang sudah dikeluarkan mencapai 2,26 miliar USD atau sebesar Rp32,1 triliun. 

 

"Jadi ini yang telah dikeluarkan regulasinya oleh OJK. Tentu saja kedepannya OJK akan terus mengeluarkan kebijakan, memberikan insentif bagi lembaga jasa keuangan untuk mendorong sistem keuangan hijau di Indonesia," kata dia. 

Direktur Utama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH)/Indonesian Environment Fund (IEF), Djoko Hendratto menjelaskan mengenai tugas dan mandat yang diemban BPDLH adalah mengenai lingkungan hidup, khususnya mengawal dari perspektif keuangan. 

"Mandat pemerintah, pertama dana bergulir yang jumlahnya cukup besar. Jumlah total Rp8 triliun. Kedua, dari pemerintah kami diberi mandat untuk mengelola dana bencana, untuk tahun 2022 mungkin diturunkan baru sekitar Rp3 triliun," kata Djoko. 

Ia menambahkan, terdapat pula dana switching dari pemerintah Amerika Serikat. Selain itu ada pula dana dari green fund sejumlah 103 juta USD, forest carbon partnership yang dana sebagian untuk penguatan infrastruktur sebesar 110 juta USD.

 

Sumber : Katadata